MENULIS “KALIMAT HUKUMAN” DI SEKOLAH BELANDA
Sumber: INDOCASE
Amsterdam — Alih-alih mengusir siswa nakal keluar kelas, para guru di Sweelinck College di Amsterdam baru-baru ini mulai menggunakan kembali hukuman pedagogis di mana siswa yang bermasalah menuliskan kekeliruan mereka secara panjang-lebar, apa akibat dari kesalahan tersebut, serta bagaimana sikap mereka seharusnya. Demikian laporan Caspar Naber, jurnalis Algemeen Dagblad, 3 Februari 2009.
Hasilnya menunjukkan kemajuan besar. Siswa Sweelinck College yang suka mengunyah permen karet, mengenakan topi di sekolah atau melempar mainan kertas akan mendapat peringatan awal. Tetapi terhadap siswa yang berperilaku mengganggu dalam belajar – sejak liburan Natal kemarin – akan segera dikenakan hukuman.
“Dengan pemberlakuan kebijakan (lik-op-stukbeleid) ini jumlah siswa yang diusir menurun dratis,” ungkap koordinator pada jenjang atas di sekolah tersebut, Martine Uleman. Penurunan tersebut menurutnya mencapai 90%.
Apakah penerapan hukuman di mana masing-masing siswa yang berperilaku tidak baik menuliskan kesalahan mereka akan meningkatkan prestasi siswa di sekolah masih perlu menunggu waktu. Tetapi, menurut Uleman kami melihat para siswa mulai kembali membawa buku pelajaran dan rajin belajar, yang pada akhirnya diharapkan meningkatkan prestasi mereka.
Ketika ditanya apa resep keberhasilan tadi, Uleman menjelaskan bahwa siswa perlu diambil apa yang bernilai baginya yaitu “waktu senggang”nya untuk menulis. Dengan demikian mereka langsung merasakan akibat dari perilakunya kemudian segera memperbaiki kesalahannya. Kalimat-kalimat hukuman yang mereka tulis harus ditanda-tangani oleh orang tua masing-masing. Yang menarik, sebagian besar orang tua mendukung kebijakan sekolah tersebut.
Pada tingkat vmbo, pola penanganan ini dikenal dengan “Metode Boon”, yang merujuk pada seorang orthopedagogis Belanda, Astrid Boon. Banyak pendidik, pimpinan sekolah dan orang tua zaman sekarang, menurut Boon, bahwa segala sesuatunya harus menyenangkan bagi siswa, termasuk dalam hal meluruskan kesalahan anak. Dengan demikian hukuman dengan menulis ini tidak tepat dengan ekspektasi stakeholders tadi.
Tetapi menurut Boon, pelajaran yang menyenangkan cenderung menyibukkan sehingga siswa tidak mampu lagi belajar dengan baik. Apalagi, Anda tidak bisa mengubah perilaku seorang anak dengan 30 kali memberitahunya dengan hal yang dia tidak pahami. Namun, dengan menuliskan kesalahan secara pedagogis ini justru bagus buat siswa yang bermasalah karena kalimat yang mereka tulis secara langsung dirasakan oleh siswa bersangkutan, dan penjelasan mengapa ringkah-laku tersebut keliru akan memberikan sugesti yang positif bagi perubahan perilaku anak.
Akan tetapi, kebijakan tersebut tidak disetujui oleh rekan Boon yang juga orthopedagogis dan pakar pendidikan, Linda Spaanbroek yang “terkejut” dengan pendekatan tersebut. Menurut Spaanbroek, kebijakan tadi tidak saja akan menciptakan jurang kekuasaan antara guru dan siswa, tetapi juga sekaligus akan mematikan motivasi siswa.